Parlindungan Siregar
A. Kedatangan Etnis Cina
Kedatangan orang Cina di Jakarta tidak bisa dipisahkan dari kedatangannya ke Asia
Tenggara yang sudah dimulai sejak abad-abad awal masehi, sehingga mengalami
diversitas komunitas yang beragam, di antaranya diversitas agama dan suku. Pada masa
kolonial mereka lebih sering disebut Cina keturunan dan Cina peranakan,2 walaupun
masing-masingnya memiliki nama suku, misalnya Hokkien dan Singkeh. Sementara
agama yang mereka anut sangat beragam di antaranya Islam.
Menurut Prof. Suryadinata, bahwa sebelum kedatangan Laksamana Cheng Ho ke nusantara di abad
ke- 15 orang-orang Cina Muslim sudah aktif di Indonesia. Ma Huan, seorang
penterjemah Cheng Ho mencatat adanya orang-orang asing di Jawa Timur yang nonMuslim maupun orang asing dan Cina yang beragama Islam. Sekalipun masih bersifat
controversial, The Malay Annals of Semarang and Cirebon menyebutkan bahwa
penyebar Islam di Jawa adalah Wali Songo yang nenek moyang mereka adalah orang
Cina, bahkan kronik Banten menyebutkan bahwa pendiri Kerajaan Demak adalah
seorang Cina Muslim.
Asia Tenggara yang terletak di sebelah selatan daratan Cina dikenal orang Cina
sejak Dinasti Shang sebagai Nanyang. Wilayah yang berdampingan dengan Laut Cina
Selatan ini memiliki beragam produk pertanian, hasil tambang, produk hewani,
kerajinan, dan sebagainya. Beberapa kerajaan di wilayah ini; Sriwijaya, Angkor,
Majapahit, Khmer, Campa, Ayuttaya, dan lain-lain berdiri dengan megah karena
didukung produk-produk pertanian, kehutanan, dan kelautan yang diperdagangkan di
pelabuhan-pelabuhannya. Dua buah kekaisaran besar yang memiliki peradaban tinggi,
satu terletak di sebelah baratnya yaitu India dan satu lagi adalah Cina sangat
mempengaruhi negeri-negeri di Nanyang. Kekaisaran mana yang lebih dulu dan lebih
kuat memberi pengaruh pada wilayah Nanyang ini beberapa penelitian telah
menjelaskannya. Berangkat dari Martin Stuart-Fox, ia menjelaskan bahwa suatu saat terjadi “The failure of Chinese to take to the sea left the way open for Indian influence
to dominate state formation in Soetheast Asia”.3
Sejauhmana kekuatan asumsi Martin
dengan menyebut kegagalan Cina tentu ia punya dalil, namun pada saat bersamaan
perdagangan Cina dengan Asia Tengah dan Asia Barat melalui Silk Route sedang
booming, sehingga bisa saja Asia Tenggara kurang dikenal dan menarik bagi dinastidinasti Cina pada dekade-dekade tertentu. Sementara pada zaman Dinasti Mongol
kemudian Dinasti Ming sangat banyak produk-produk Cina yang memasuki pelabuhanpelabuhan di Asia Tenggara, khususnya Nusantara.
Bangsa Mongol memiliki sifat ekspansionistis yang sangat kuat, suku yang berasal
dari bagian utara daratan Cina ini menguasai daratan Cina, lantas tercinakan. Kemudian
ekspansi Bangsa Mongol berlanjut ke kawasan Asia Tenggara dengan menjadikan
Yunnan sebagai basis ekspansinya ke kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Dampak lebih
jauh adalah terjadinya hubungan yang intens antara Asia Tenggara dan Cina. Pengaruh
Cina di kawasan Asia Tenggara bertambah besar dan kuat, bahkan Yunnan menjadi rute
utama hubungan dari Asia Tenggara ke Cina dan sebaliknya, terjadi pula tekanan dan
imigrasi penduduk Cina di Asia Tenggara. Berbagai faktor migrasi ini di antaranya
adalah perdagangan. Produk-produk kehutanan Asia Tenggara diperdagangkan di
ibukota kekaisaran Cina oleh para pedagang yang mampu melalui jalur-jalur rawan di
kawasan Asia Tenggara. Oleh karena banyak orang-orang Mongol adalah Muslim,
maka Islam pun ikut dikembangkan dan disebarluaskan di kawasan Asian Tenggara
melalui Yunnan yang hingga saat ini merupakan daerah dengan penduduk pemeluk
agama Islam terbesar kedua di Cina setelah Xinjiang.4
Rute dagang dari Cina ke Asia Tenggara dan khususnya Nusantara semakin terbuka
sesudah Kubilai Khan tidak hanya mengekspansi Kerajaan-kerajaan Burma, Vietnam,
Champa, dan Thai, tetapi pada 1293 Kubilai Khan menyerang Raja Jawa Kertanegara
dan membunuhnya. Kemudian, armada Mongol sampai di Tuban, pelabuhan di pantai
utara pulau Jawa. Pangeran Wijaya yang ditunjuk sebagai pewaris kerajaan setuju
membayar upeti kepada Mongol. Hubungan dagang Majapahit dengan Cina terus
berlangsung pada masa Dinasti Ming hingga keruntuhan Majapahit di abad kelima
belas.
Hubungan Cina dengan Asia Tenggara pada masa dinasti Ming bertambah kuat,
pertama untuk mensosialisasikan terjadinya peralihan kekuasaan dari Yuan (Mongol) ke
Ming kepada negeri-negeri yang selama ini memberikan upeti dan kedua adalah
peningkatan hubungan perdagangan. Hal inilah yang dilakukan Hongwu (1368 – 1398),
disamping adanya utusan-utusan dari kaisar Vietnam, Champa, Kamboja, Ayuttaya,
Majapahit, dan beberapa raja-raja di pantai Jawa, Sumatra, dan Kalimantan ke Cina.
Sistem pembayaran upeti yang diterapkan Ming berlaku juga dalam bidang perdagangan
dimana hubungan dagang hanya dapat dilakukan di antara negeri-negeri yang mengakui
kekuasaan dinasti Ming. Pedagang-pedagang swasta Cina dilarang keluar negeri dan
hanya dapat berhubungan dengan pedagang yang datang bersama missi penyerahan
upeti. Beberapa kerajaan di Asia Tenggara mengirim banyak missi penyerahan upeti
agar transaksi dagang lebih sering dilakukan dan barang-barang bertambah untuk
diekspor ke Cina.
Pada awal abad kelima belas hingga pertengahan abad ketujuh belas dinasti Ming
semakin tertarik ke Malaka, sebab posisi penting dan strategisnya dalam perdagangan,
maka Martin Stuart menyebut zaman ini sebagai “the age of commerce” di Asia
Tenggara. Misi muhibah Laksamana Cheng Ho ke Asia Tenggara, khususnya, ke
Malaka adalah untuk memperkuat hubungan Cina dengan kerajaan-kerajaan di sekitar
Malaka, sebab Brunei maupun Malaka sedang dalam keadan khawatir terhadap
ancaman kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Misi inipun sangat mempengaruhi lajunya
pertumbuhan perekonomian. 5 Dinasti Ming menjadikan dirinya sebagai hakim dan
pelindung bagi kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan dengan imbalan upeti.
Kedatangan etnis Cina melalui jalur dagang dan saluran politik bertambah intens
ketika dinasti Qing (1616 M. – 1912 M.) bertahta di Cina.
B. Etnis Cina Di Jakarta
penduduknya sudah sangat heterogen. Heterogenitas sosial ditandai oleh beragamnya
suku-suku yang menghuni Jakarta serta status sosial dan budayanya;
1) orang EropaAsia “Indo”. Mereka adalah anak-anak bapak Eropa atau campuran antara berbagai
suku-suku Indonesia dan Eropa-Asia;
2) orang Jepang. Orang Jepang dibawa oleh VOC
ke Jakarta dan diberi izin menjadi petani, pedagang, dan eksportir. Salah seorang di
antaranya berkedudukan sebagai Syahbandar; 6
3) orang Mardijkers dan Papanger.
Orang India campuran Portugis, berbahasa Portugis dari India Selatan daerah
Coromandel, Arakan, Malabar, dan Bengal;
4) orang Papanger atau Pampangos. Orang
Filiphina dari Luzon, bagian Pampanga pelabuhan Manila;
5) orang Afrika;
6) orang
Arab. Orang yang berasal dari Hadramaut bekerja di sektor perdagangan;
7) orang India
yang berasal dari suku Tamil di Pantai Coromadel;
8) orang Melayu;
9) orang Bali; dan
10) orang Cina.
Orang Cina hidup secara berkelompok di Batavia. Sebagian besar berasal dari Cina
bagian Selatan sebagiannya menjadi kaya dan mempertahankan budayanya di Batavia.
Sejak lama mereka merupakan penduduk terpenting di kota-kota seperti Sunda Kelapa
dan Banten. Mereka merupakan mayoritas orang asing dari Asia di Batavia. Jumlah mereka adalah 5000 orang di antara 45000 penduduk Batavia antara tahun1730 dan
1740. Diperkirakan jumlah mereka di Batavia mencapai 10.000 orang, pada saat terjadi
pembantaian Cina oleh Bdanda pada tahun 1740. Sejarah menunjukkan bahwa ketika
pertama-tama orang Cina masuk ke Batavia sangat miskin, namun dalam waktu singkat
menjadi kaya. Pada tahun 1812 menurut Statistika mereka merupakan 25 % dari
seluruh penduduk Batavia; bahkan jumlah mereka jauh lehih besar dari penghitungan
pemerintah.
Secara budaya Cina dapat dibagi menjadi dua kelompok: Singkeh, orang Cina yang
lahir di Cina, dan kelompok kelompok kedua peranakan Tionghoa, orang Cina yang
lahir di Indonesia. Singkeh adalah istilah dari Hokkian yang berarti "tamu baru". Dalam
bahasa Indonesia Singkeh disebut "Totok" orang Cina asli kelahiran Cina. Cina Singkeh
mempertahankan budaya asli mereka. lstilah bahasa Indonesia "peranakan " berarti
seorang anak yang Iahir dari ibu Indonesia. Istilah "Baba" juga dipergunakan di Batavia
untuk orang Cina yang lahir di Indonesia.
C. Bangunan Berarsitektur Cina di Jakarta
Arsitektur Cina kuno berdasar pada aturan dan keseimbangan; Kayu balok persegi
dan kemudian tanah liat (bata) merupakan komponen utama. Tiang-tiangnya menopang
atap yang berbentuk bujur sangkar (limasan) bertumpang dua atau lebih. Konstruksi
atap inilah yang paling banyak mendapat perhatian para peneliti.
Bangunan berarsitektur Cina yang terdapat di Jakarta dan masuk dalam BCB (Benda
Cagar Budaya);
1.Bangunan Langggam Cina di Jalan Balongan No. 10, 16, s.d. 20 Kecamatan
Tamansari. Bangunan yang memiliki gaya arsitektur Cina ini didirikan pada tahun
1779- an hingga abad ke- 19.7
2. Masjid al-Mansur,
3. Masjid Angke
4. Masjid Tambora
5. Masjid Krukut
.
6. Masjid Kebon Jeruk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar